Jumat, 15 Maret 2019

SENJA DI AKANG CAVE


SENJA DI AKANG CAVE
By Sumarlin ZBU

Jarum jam tepat menunjukan pukul 16.00, bergegas aku mengemas tasku yang talinya disambung karena sudah putus, turun dari lantai 3, kondisi yang membuatku tak perlu olahraga lagi dilain waktu, sebagian abdi negara juga sama sepertiku, bergegas mengakhir pekerjaannya dan menuju kendaraan masing-masing. Ada yang menggunakan motor produk tahun 80’an, hingga yang keluaran terbaru, demikian juga mobil, ada yang masih menggunakan kijang keluaran tahun 90an hingga innova, rush dan fortuner, tapi banyak didominasi dengan mobil sejuta umat, Avanza dan Xenia. Kadang aku berpikir, apa yang menyebabkan perbedaan tersebut, padahal sama-sama berstatus PNS, pendapatan kurang lebih sama, tapi kesenjangan sedemikian jauh, hem, aku hanya bisa geleng kepala jika memikirkannya. Kustater mobiliu dan kutancap gas dan bergegas ke akang cave. Kuhubungi temanku pak Beno, sosok manasia lugu yg kukenal sejak 10 tahun lalu, bercita-cita menjadi pengusaha kaya raya yang sekarang berprofesi sebagai Gojek, sambil menunggu itu nama depannya ditambah “Chandra” sehingga menjadi Cahndra Beno. Pak Beno adalah perantau dari pulau Jawa, menginjakan kaki di Kalimantan Barat sejak Tahun 1998, mengawali karirnya sebagai penjaja keliling. Usahanya yang giat dan karakter yang pantang menyerah mengantarkannya naik pangkat menjadi bosnya penjaja keliling. Namun karena satu dan lain hal, usahanya keok. Setiba diakang cave, pak chandra telah tiba dan menyambutku dengan wajah khasnya yang ramah sedikit cengegesan.
Tak lama berselang, muncul kawan satu lagi, Pak Andi, Pengusaha alat terapi kesehatan yang sempat memiliki 9 kantor cabang yang tersebar di Kab/Kota. Namun yang aneh di beliau, walau pak Andi penjual alat terapi kesehatan tapi entah mengapa justru beliau yang sering mengeluh tentang kesehatannya. Nyaris 2-3 kali beliau harus berobat ke Puskesmas, mungkin karena terlalu banyak menggunakan alat terapi kesehatan sehingga overdosis kali ya. Pak Andi memiliki perawakan yang lebih besar dan tinggi ketimbang pak Beno, rambutnya lurus berdiri, dengan bentuk muka oval dan postur yang cukup berotot. Tak kalah dengan pak Beno, citanya juga setinggi langit, ingin menjadi pengusaha kaya raya. Barangkali ini juga yang membuat nama belakangnya ditambah “Nirwana” sehingga namanya menjadi “Andi Nirwana”, namun entah karena apa, profesinya beralih ke GOJEK juga. Mungkin karena ingin senasib sepenanggungan sama temannya pak Chandra Beno.
Suasana akang cave disenja hari sangatlah nyaman, berada tepat dibundaran kota baru, diapit oleh POM Bensin, Gereja, Pasar, penjual gorengan, duduk diluar beratapkan langit, angin berhembus dengan lembut sembari menikmati aktifitas kendaraan yang lalu lalang.
“Pak beno, mau makan kue Molen gak pak” Ujarku kepada Pak Beno
“Oh, boleh pak, mau rasa apa, pak”,. Jawabnya
“campur saja pak, pisang, tape dan kacang ijo” jawabku sambil nyerahkan bebera lembar uang duaribuan.
Pak beno segera berlalu, menyebarang jalan, mendatangi gerobak penjual Melon, sekali-kali nampak pak Beno tertawa dengan sang penjual. Aku yang melihatnya cukup maklum, walau umurnya sudah mulai uzur, tapi semangat “jiwa mudanya” belum juga hilang. Tak peduli cantik atau tidak yang penting judulnya kaum “hawa” maka pasti jurus-jurus rayuannya keluar.  
Kami bercanda tertawa lepas, pak Chandra dengan jawanya yang meddok, pak andi dengan melayu kental  yang sekali-kali saya harus minta diulang ucapannya karena “R”nya hilang.  
“TENGGGGGGGGG” Bunyi lonceng dibangunan seberang berbunyi, anak dengan seragam putih dongker berhamburan. Kupandangi dari jauh satu persatu wajah mereka, nyaris sama karena semua memakai jilbab, sampai akhirnya mataku tertuju pada sebuah wajah, agak hitam, lonjong dengan mata bulatnya. Wajahnya celingak celinguk seperti mencari seseorang. Spontan expresi wajah bingungnya berubah sumringah tatkala pandangannya beralih kearahku, berlari kecil sambi jingkrak-jingkrak mendekatiku, “ PAPAAAAA,...”. Kuraih tangannya, masuk dalam mobil dan sepanjang jalan aku hanya bisa senyum mendengar colotehnya, pelajaran Bahasa Indonesia titik komanya hilang, bertentangan dengan Nilai 9 yang diperolehnya, dia gak yang ngomong, dia gak yang jawab dan dia gak yang tertawa, tak terasa kami tiba dirumah, bergegas dia mencari minuman, haus karena capek mikir katanya,.hemmm, gumamku sambil geleng kepala.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar